Kelap-Kelip Samarinda Malam Ini


“Saya tak tahu mengapa, saya merasa agak melankolik malam ini.” - Soe Hok Gie

Ada yang beda dengan kelap-kelip kota Samarinda malam ini. Saya melihatnya. Seolah semua sudut kota adalah kembang yang memancarkan cahaya dan mekar di kepala manusia. Menyatukan saya dan Samarinda menjadi sederhana.

Kisah malam ini ditandai dengan saya pulang melewati kegelapan kawasan Pelabuhan. Ada lampu jalan yang mati dan truk yang sepertinya selesai bongkar muatan mengisi sepanjang kawasan Pelabuhan. Memasuki daerah Pasar Pagi semua tampak lebih gelap. Tempat ini beristirahat total setelah siang ramai dipakai mencari uang. Satu hal paling menyenangkan malam hari di Pasar Pagi adalah tidak ada orang yang menyeberang di bawah jembatan penyeberangan.

Terus menekuri jalan saya mendapat lampu merah tepat di depan BRI. Satu pengendara motor telah menorobosnya. Mentang-mentang ini lampu merah Samarinda yang paling gampang diterobos. Tapi masih ada dua pengendara lain yang setia menunggu hingga lampu hijau. Kalau saya ikut dihitung berarti ada tiga. Ada detik yang lebih lambat ketika warna lampu berubah dari merah ke kuning lalu akhirnya hijau. Saya melihat tiga warna itu baru saja bekerja dengan serasi.

 
Selanjutnya di daerah Tepian saya jumpai banyak manusia yang menikmati obrolan dengan karibnya, ada pemancing yang menanti ikan keluar dari gelap sungai Mahakam, dan ada tukang parkir yang mengomando mobil berjalan mundur. Saya memerhatikan itu sampai posisi saya mulai mendekat ke arah Taman Lampion Garden. Rupanya di sana jauh lebih aneh. Lampu-lampu yang sejak setahun ini dikurung dalam batang, bunga, dan tipografi itu muncul dengan cahaya hangat dan menyentuh sisi lunak saya. Hal yang sama pernah saya rasakan ketika pertama kali Taman Lampion Garden dibuka. Malam ini TLG membuat saya senyum-senyum di sepanjang Teluk Lerong.


Masih dengan kecepatan standar, dari kejauhan saya melihat seluruh bagian primadona Islamic Center sedang disorot lampu kuning keemasannya yang baru. Lampu yang sebetulnya mulai ada sejak kabut asap melanda negeri ini namun kala itu belum begitu kentara. Tapi malam ini Islamic membuat orang paling lupa bersyukur pun akan ingat untuk bersyukur. Dia adalah representasi manusia jika soal ibadah bisa sampai sebegitunya. Saya yang belum salat Isa melenggang sopan di depan Islamic Center.

Ketika baru memasuki daerah Karang Asam saya kaget oleh sebuah taman mati suri. Ia dibuka, mati dan dipikir jadi kuburan tapi dia hidup dan menyala lagi malam ini. Mahakam Lampion Garden itu namanya. Saya menepi agak ke kiri dan memacu sepeda motor sepelan saya bisa untuk menengok cahaya merah muda dari tulisan Love berikut tanda hatinya. Masih tersedia banyak warna dan bentuk lain di dalam sana. Saya berpikir untuk langsung masuk ke taman itu tapi ternyata belum boleh. Taman ini baru akan diresmikan akhir pekan nanti. Apa pun alasan tempat ini dulu mati yang penting sekarang dia bercahaya lagi. Seperti sebuah cinta yang pergi dan datang kembali untuk menebus dosa.

Saya berlanjut masih di Karang Asam yang lenggang. Arah mata saya kini tertuju pada tulisan jembatan Mahakam yang telah lama redup. Bohlamnya mati dan tidak pernah diganti. Mungkin seharusnya saya jengkel karena sejak tadi disuguhi cahaya indah tapi di jembatan utama malah sebaliknya. Namun itu tidak terjadi karena siang tadi saya melihat ada pemasangan beberapa komponen lampu sorot di titik yang bertuliskan “Mahakam”. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk melihat Mahakam kembali bercahaya. Senanglah.


Setelah melewati Karang Asam saya masuk ke jembatan Mahakam. Saya memasuki bingkai lanskap Samarinda paling original. Tergesa-gesanya kota ini, kapal ponton pengangkut batubara, dan mendung di jalan Antasari dapat ditafsir hanya dari Jembatan Mahakam. Samarinda selalu tentang jembatan Mahakam, kisah sebuah lengan yang menghubungkan saudara kembar yang dipisah sungai.

 
Saya melintasi jembatan Mahakam cukup cepat. Dengan harapan nanti ketika melintas di jembatan Shiratal Mustaqim juga sama cepat. Dari arah jembatan saya belok kiri, menjajal Bung Tomo tempat di mana saya tinggal. Saya memacu motor dan membiarkan mobil yang tergesa-gesa lewat lebih dulu. Saya sempat menengok ke arah kaca spion tak jauh di belakang saya rupanya sedang ada mobil besar yang membawa kontainer. Di kepala mobilnya terdapat satu buah lampu oranye yang berputar-putar. Sekilas warnanya mirip senja yang membedakan hanya caranya jatuh. Senja sejati jatuh di mata kekasih sementara cahaya ini berpendar dan hanya bisa jatuh ke aspal.

Samarinda malam ini menampilkan beragam cahaya. Dia tampak indah sekali setara dengan gaun nona tak bernama di tempat hiburan malam beberapa minggu lalu. Padahal banyak di antara cahaya yang saya lihat malam ini selalu disajikan tiap malam. Hanya memang persoalan tersentuh adalah soal giliran. Malam ini giliran saya, mungkin besok giliran tukang tahu tek-tek, besoknya lagi pemandu karaoke, besoknya lagi orang yang ngecor jalan tengah malam. Cahaya yang awalnya dilihat biasa tiba-tiba menelusup dan menerangi sesuatu yang gelap. Kalau saya tebak jelas sekali bahwa kota ini tidak sedang memberi apa yang diinginkan. Yang dia lakukan hanya mengisi apa yang kosong.

Saya terus melaju meninggalkan mobil besar itu. Sejak Sabtu kemarin di Samarinda Seberang berdiri bangunan Holland Bakery. Tahu sendiri Holland Bakery selalu pakai arsitektur dengan kincir angin di ujung bangunannya. Saya melihat kincirnya malam ini berputar-putar dengan cahaya kekuningan. Sesuatu kembali menelusup, kurang lebih terjemahannya begini. “Tiba-tiba buka toko di Seberang dan maunya langsung mewah sendiri. Dasar!



Gambar dari juwarto.com; curiousvisualist.tumblr.com; unesciencefans.blogspot.com; dan kliksamarinda.com
Previous
Next Post »
0 Komentar