Dilema Nemu Duit





Saya termasuk orang yang kalau jalan itu suka nunduk. Mata suka melihat ke bawah. Itu jadi semacam kegemaran, soalnya ada banyak hal tak terduga yang bisa saya lihat--yang gak bisa dilihat orang lain kalau jalannya gak nunduk. Bentuknya sering seperti rejeki, saya pernah melihat bungkus permen tapi isinya masih ada, nemu kelereng mata kucing dekat eek kucing. Tapi, di antara semuanya yang paling sering itu: duit.

Duit memang sering banget. Saking seringnya nemu duit di jalan mungkin jatuhnya udah kayak rejeki Tuhan yang diantar sama malaikat Mikail. Tapi, bukan berarti uang yang saya temuin masuk kantong sendiri dan dikonversi jadi es Segar Sari, gak gitu. Kadang juga uang itu saya ambil untuk dimasukkan ke kotak amal di masjid. 

Tapi rasanya itu sudah lamaaaaa sekali. Sekarang di tengah kesibukan duniawi dan makin merasakan kejamnya menjadi dewasa, kebiasaan mengambil ataupun mengantar duit ke kotak amal saat nemu di jalan seperti sirna. Saya baru sadar soal itu setelah kejadian tadi sore.

***

Langkah kaki saya yang sedang menapaki koridor Student Center, Unmul tiba-tiba berhenti. Di antara lantai ubin itu, ada kayu-kayu balok tergeletak yang kalau diinjak tanpa alas kaki bisa telusupan. Kayu balok itu gak jelas milik siapa dan fungsinya apa, tapi mata saya sukses memicing dan menangkap warna cokelat di antara himpitan kayu yang juga warna cokelat.  Rupanya di sana ada duit lima ribu kucel. Malang sih, tapi jelas duit itu masih bisa dipakai.

Saya melupakan sejenak tujuan untuk segera ke sekretariat LPM Sketsa Unmul yang mana sore tadi ada rapat, perhatian saya tertuju pada duit lima ribu itu. Saya mengedarkan pandangan tapi tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan. Gak ada orang di sekitar situ dan saya juga gak melihat tanda ini sebagai jebakan reality show.

Karena tidak ada orang, akhirnya muncul inisiatif baik untuk mengambil uang itu dan menghibahkannya dalam bentuk sumbangan. Hitung-hitung saya berbuat baik lah kepada yang duitnya kehilangan. Tuhan pasti suka sikap mulia yang kayak gini. Sampai inisiatif baru muncul di kepala saya, kenapa duitnya gak dibiarin aja? Maksudnya biar orang baik lain yang nemuin dan nganterin duit itu ke masjid. Pilihan itu secara matematis jelas lebih mudah, dan lagian pasti ada orang yang pengin berbuat baik. Nah, duit nemu yang gak saya ambil bisa jadi jalan orang tersebut menuai pahala. Hitung-hitung saya bikin orang baik senang.

“Ambil gak ya? Ah, gak usah aja deh,” kata saya ke diri sendiri. Saya akhirnya memilih meneruskan jalan ke sekre LPM, tapi baru beberapa langkah saya balik lagi buat ngecek duit itu.

Ada kemungkinan duit itu ditemukan oleh orang jahat. Dalam kasus ini, dia tipe orang yang mengambil uang lima ribu dan membelikannya Indomie plus Pop Ice rasa cokelat demi kenikmatan pribadi. Membayangkan itu saya jadi takut sendiri. Saya kembali diam memandangi duit malang itu. Rasanya pengin menjebloskannya jadi sumbangan tapi kok saya malas. Takut nanti saya khilaf sehingga mengira duit itu milik saya dan membelikannya Indomie plus Pop Ice rasa cokelat demi kenikmatan pribadi. Ternyata saya tak ubahnya orang jahat versi saya sendiri.

Mendadak nemu duit jadi terlampau pelik. Kegemaran saya jalan nunduk kok malah mengantarkan saya pada pilihan yang sulit. Hidup kok gini amat. Pikir saya saat itu, saya harus menjadi lelaki. Dengan penuh ketangguhan, saya katakan ini kepada duit lima ribu yang malang. “Saya ke atas dulu nanti kalau kamu masih di situ, saya akan antar kamu.”

Saya lanjut jalan ke sekre LPM tanpa menoleh lagi. Bagaimanapun duit itu harus bertahan sampai urusan rapat selesai jika dia memang niat diambil orang baik yaitu saya sendiri. Sesampainya di sekre LPM, ada beberapa anggota yang sudah berkumpul. Mereka tidak perlu tahu perdebatan batin apa yang baru saya alami.

Sampai saya pulang, saya nyatanya tidak menepati janji. Saya seperti lelaki kebanyakan yang omong doang. Saya lupa dengan duit lima ribu itu, saya baru mengingatnya lagi ketika sudah berada di jalan pulang. Entah bagaimana kabar duit itu sekarang, apakah dia ditemukan oleh orang yang jalan nunduk juga atau malah ditemukan oleh orang yang jalannya hand stand? Saya beneran gak tau.

Yang jelas saya masih merasa benar karena gak mengambil duit itu. Entahlah.

Kelap-Kelip Samarinda Malam Ini


“Saya tak tahu mengapa, saya merasa agak melankolik malam ini.” - Soe Hok Gie

Ada yang beda dengan kelap-kelip kota Samarinda malam ini. Saya melihatnya. Seolah semua sudut kota adalah kembang yang memancarkan cahaya dan mekar di kepala manusia. Menyatukan saya dan Samarinda menjadi sederhana.

Kisah malam ini ditandai dengan saya pulang melewati kegelapan kawasan Pelabuhan. Ada lampu jalan yang mati dan truk yang sepertinya selesai bongkar muatan mengisi sepanjang kawasan Pelabuhan. Memasuki daerah Pasar Pagi semua tampak lebih gelap. Tempat ini beristirahat total setelah siang ramai dipakai mencari uang. Satu hal paling menyenangkan malam hari di Pasar Pagi adalah tidak ada orang yang menyeberang di bawah jembatan penyeberangan.

Terus menekuri jalan saya mendapat lampu merah tepat di depan BRI. Satu pengendara motor telah menorobosnya. Mentang-mentang ini lampu merah Samarinda yang paling gampang diterobos. Tapi masih ada dua pengendara lain yang setia menunggu hingga lampu hijau. Kalau saya ikut dihitung berarti ada tiga. Ada detik yang lebih lambat ketika warna lampu berubah dari merah ke kuning lalu akhirnya hijau. Saya melihat tiga warna itu baru saja bekerja dengan serasi.

 
Selanjutnya di daerah Tepian saya jumpai banyak manusia yang menikmati obrolan dengan karibnya, ada pemancing yang menanti ikan keluar dari gelap sungai Mahakam, dan ada tukang parkir yang mengomando mobil berjalan mundur. Saya memerhatikan itu sampai posisi saya mulai mendekat ke arah Taman Lampion Garden. Rupanya di sana jauh lebih aneh. Lampu-lampu yang sejak setahun ini dikurung dalam batang, bunga, dan tipografi itu muncul dengan cahaya hangat dan menyentuh sisi lunak saya. Hal yang sama pernah saya rasakan ketika pertama kali Taman Lampion Garden dibuka. Malam ini TLG membuat saya senyum-senyum di sepanjang Teluk Lerong.


Masih dengan kecepatan standar, dari kejauhan saya melihat seluruh bagian primadona Islamic Center sedang disorot lampu kuning keemasannya yang baru. Lampu yang sebetulnya mulai ada sejak kabut asap melanda negeri ini namun kala itu belum begitu kentara. Tapi malam ini Islamic membuat orang paling lupa bersyukur pun akan ingat untuk bersyukur. Dia adalah representasi manusia jika soal ibadah bisa sampai sebegitunya. Saya yang belum salat Isa melenggang sopan di depan Islamic Center.

Ketika baru memasuki daerah Karang Asam saya kaget oleh sebuah taman mati suri. Ia dibuka, mati dan dipikir jadi kuburan tapi dia hidup dan menyala lagi malam ini. Mahakam Lampion Garden itu namanya. Saya menepi agak ke kiri dan memacu sepeda motor sepelan saya bisa untuk menengok cahaya merah muda dari tulisan Love berikut tanda hatinya. Masih tersedia banyak warna dan bentuk lain di dalam sana. Saya berpikir untuk langsung masuk ke taman itu tapi ternyata belum boleh. Taman ini baru akan diresmikan akhir pekan nanti. Apa pun alasan tempat ini dulu mati yang penting sekarang dia bercahaya lagi. Seperti sebuah cinta yang pergi dan datang kembali untuk menebus dosa.

Saya berlanjut masih di Karang Asam yang lenggang. Arah mata saya kini tertuju pada tulisan jembatan Mahakam yang telah lama redup. Bohlamnya mati dan tidak pernah diganti. Mungkin seharusnya saya jengkel karena sejak tadi disuguhi cahaya indah tapi di jembatan utama malah sebaliknya. Namun itu tidak terjadi karena siang tadi saya melihat ada pemasangan beberapa komponen lampu sorot di titik yang bertuliskan “Mahakam”. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk melihat Mahakam kembali bercahaya. Senanglah.


Setelah melewati Karang Asam saya masuk ke jembatan Mahakam. Saya memasuki bingkai lanskap Samarinda paling original. Tergesa-gesanya kota ini, kapal ponton pengangkut batubara, dan mendung di jalan Antasari dapat ditafsir hanya dari Jembatan Mahakam. Samarinda selalu tentang jembatan Mahakam, kisah sebuah lengan yang menghubungkan saudara kembar yang dipisah sungai.

 
Saya melintasi jembatan Mahakam cukup cepat. Dengan harapan nanti ketika melintas di jembatan Shiratal Mustaqim juga sama cepat. Dari arah jembatan saya belok kiri, menjajal Bung Tomo tempat di mana saya tinggal. Saya memacu motor dan membiarkan mobil yang tergesa-gesa lewat lebih dulu. Saya sempat menengok ke arah kaca spion tak jauh di belakang saya rupanya sedang ada mobil besar yang membawa kontainer. Di kepala mobilnya terdapat satu buah lampu oranye yang berputar-putar. Sekilas warnanya mirip senja yang membedakan hanya caranya jatuh. Senja sejati jatuh di mata kekasih sementara cahaya ini berpendar dan hanya bisa jatuh ke aspal.

Samarinda malam ini menampilkan beragam cahaya. Dia tampak indah sekali setara dengan gaun nona tak bernama di tempat hiburan malam beberapa minggu lalu. Padahal banyak di antara cahaya yang saya lihat malam ini selalu disajikan tiap malam. Hanya memang persoalan tersentuh adalah soal giliran. Malam ini giliran saya, mungkin besok giliran tukang tahu tek-tek, besoknya lagi pemandu karaoke, besoknya lagi orang yang ngecor jalan tengah malam. Cahaya yang awalnya dilihat biasa tiba-tiba menelusup dan menerangi sesuatu yang gelap. Kalau saya tebak jelas sekali bahwa kota ini tidak sedang memberi apa yang diinginkan. Yang dia lakukan hanya mengisi apa yang kosong.

Saya terus melaju meninggalkan mobil besar itu. Sejak Sabtu kemarin di Samarinda Seberang berdiri bangunan Holland Bakery. Tahu sendiri Holland Bakery selalu pakai arsitektur dengan kincir angin di ujung bangunannya. Saya melihat kincirnya malam ini berputar-putar dengan cahaya kekuningan. Sesuatu kembali menelusup, kurang lebih terjemahannya begini. “Tiba-tiba buka toko di Seberang dan maunya langsung mewah sendiri. Dasar!



Gambar dari juwarto.com; curiousvisualist.tumblr.com; unesciencefans.blogspot.com; dan kliksamarinda.com

Dongeng dari Ayah


Dulu pernah ada seorang baco — bocah laki-laki yang gemar berlari-lari dan berbicara banyak sekali. Padahal saat itu ada banyak keluarga yang sedang berkumpul di rumah. Merupakan budaya orang Bugis kalau sedang berkumpul, kelompok ibu-ibu menjalankan tugasnya di dapur sementara kelompok bapak-bapak  berbincang santai di ruang tamu. Tapi hari itu ada satu baco ini ributnya bukan main. Baco terus berlari-lari dan berbicara banyak sekali.

“Heh, baco sini dulu!” ucap seorang Puang — sapaan untuk orang yang lebih tua.

Mendengar dirinya dipanggil si baco tanpa takut langsung mendekat ke Puang yang memanggilnya.

“Coba menyeringai, sepertinya kamu ini terkena penyakit keras dan mengerikan,” kata Puang.

“Ah, beneran, Puang?” ujar si baco. Perubahan raut wajah baco mulai terlihat dari yang awalnya tengil berubah menjadi cemas.

Disaksikan di depan bapak-bapak lain, baco ini untuk pertama kalinya diam dan tidak banyak bicara. Malahan ingin menjerit ketika diberi tahu bahwa penyakit keras sedang menggerogoti dirinya dari dalam. Puang itu dengan wajah serius melanjutkan pengumumannya.

“Kamu ini sakit keras. Kamu pernah mendengar sakit kuning?”

“Belum, Puang.”

“Nah, itu dia. Sekarang lebih baik kamu datang ke Ibumu dan bilang, ‘Ibu aku sakit kuning, tandanya mulai terlihat dari gigiku.’ Ayo, cepat sekarang. Nanti penyakit kuning menjalar sampai ke tubuhmu.”

Mendengar hal itu si baco jadi takut bukan main. Jika dia biasanya berlari-lari setelah mendengar kabar penyakit kerasnya dia jadi sangat berlari seperti anak rusa yang baru saja melihat buaya. Dia sampai di dapur dan segera mendekati ibu-ibunya.

“Ibu, aku sakit keras! Aku akan mati!” ucap si baco ketar-ketir. Suaranya yang keras membuat ibu-ibu lain yang sedang memasak berhenti sejenak.

“Ada apa, nak? Ada apa?”

“Kata Puang Sidin, aku menderita penyakit kuning. Semuanya dimulai dari gigiku dan akan menjalar ke seluruh tubuhku. Dan itu tidak akan lama lagi.”

“Mana coba Ibu lihat gigimu,” si Ibu jadi ikut cemas. Baconya masih kecil tapi sudah terserah penyakit ganas. Tidak mungkin.

Semua Ibu yang ada di dapur mulai ikut kaget dan kini memikirkan nasib anak mereka masing-masing. Selanjutnya si bocah mulai menyeringai untuk kedua kalinya hari itu. Dari sana ia akan menemui nasibnya.

“Astagfirullah.”

“Iya, nak kamu sakit kuning. Gigimu sakit kuning, kamu jarang gosok gigi!”

“Hah?”

“Puang Sidin benar kamu sakit kuning, makanya rajin sikat gigi biar gak sakit kuning,” kata si Ibu yang kini jadinya tertawa sambil mengusap kepala si baco pelan.



Ini kisah nyata yang disampaikan oleh Ayah saya. Kalau beliau sendiri yang menceritakan jadinya jauh lebih lucu. Sampai sekarang cerita ini masih sering dibawakan tiap ada acara keluarga. Biar sudah berkali-kali dengar tetap saja ini cerita selalu bikin ketawa. Ini bisa jadi dongeng pengantar tidur yang seru untuk anak-anak.

Karakter Puang Sidin yang mengerjai baco jarang gosok gigi tadi tidak lain dan tidak bukan adalah ayah saya sendiri. Ayah saya memang orangnya cukup jail. Saya senang bisa menjadi anak dari orang yang jail. Selamat menikmati harimu, Ayah. Dan selamat hari kesehatan, semoga kau sehat terus sampai nanti cerita ini kau ceritakan lagi untuk cucu-cucumu. Amin.

Samarinda, 12 November 2015


Gambar dari @Asmaraku_ID

Kondisi Kating di Hari Pahlawan



Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pahlawan sebagai orang yang MENONJOL karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Setuju. Gimana nggak menonjol kalau yang diusir itu ternyata bukan hanya meener-meener brengsek, tapi juga noni-noni cantik disuruh pulang ke negara asalnya. Pastilah ada di antara pahlawan kita yang merasa “menonjol” karena melihat noni-noni cantik, cieee, tapi sebagai pahlawan tekadnya tentu jauh lebih menonjol dibanding apa pun. Dibanding yang “menonjol” sekalipun. Itu kenapa pahlawan layak disebut keren. Tapi serius berkat jasa pahlawan yang gugur mendahului kita, kemerdekaan bisa dirasain. Kita layak bersyukur dan mendoakan para pahlawan bisa merdeka di akhirat sana.

Berdasar pengertian KBBI di atas, pahlawan bisa aja dong masih hidup di zaman sekarang. Lagian pahlawan nggak harus orang yang menyelamatkan dunia dari serangan alien atau menyelamatkan warga kota dari bom nuklir, tapi dia sudah bisa disebut pahlawan meski cuman jadi ketua tingkat. Ya, sadar atau nggak, ketua tingkat itu pahlawan kita semua. Mari coba kita renungkan.

Di kelas yang menganut demokrasi biasanya kating hanya memiliki masa periode satu semester. Tapi itu nggak berlaku di kelas yang isinya anak-anak malas. Siapa kating yang pertama kali ditunjuk berarti dia jadi kating seumur hidup. Jadi ada semacam pola sejenis orba yang bedanya di sini orang ditunjuk dan dipaksa buat terus jadi pemimpin bukan malah pemimpinnya yang maksa jadi pemimpin. 

Memiliki jabatan kating harus siap menanggung beban mental yang tak terperi. Tupoksi-nya dia itu sulit atau lebih tepatnya malas banget buat diwakilkan. Coba siapa yang akan telepon dosen kalau bukan kating? Siapa yang angkut proyektor kalau bukan kating? Siapa yang bawa absen kalau bukan kating? Siapa yang fotocopy kalau bukan kating? Sementara dia itu satu-satunya orang yang kenal baik dengan tukang fotocopy dan biasa dikasih diskon. Kita anak-anak malas mana mau bayar lebih mahal.

Lagi coba bayangkan, selain harus selalu datang lebih awal kating juga memiliki tugas untuk memberi info perkuliahan cepat dan lambat. Yang mana keduanya bisa membuat kita salut dengan kerjanya dia atau malah balik menghujat dia. Ambil contoh pagi hari, dosen untuk kuliah pagi tidak masuk. Saat kating tahu itu maka dia akan memberi pengumuman via grup chat sebelum kita berada di kampus. Kita senang bisa lanjut tidur. Tapi saat kating khilaf, kita sudah di kampus dan kating baru ngasih kalo dosen ternyata nggak masuk. Alamat, kating jadi tempat buang keluhan.

Bahkan apa yang kalian pikirkan? Ketika kating masuk atau tidak masuk karena sakit, dia tetap akan diburu pertanyaan seperti

“Ini dosennya masuk apa nggak?”

“Kating aku belum tugas, aku nyusul ya ngumpulnya.”

“Kating aku nggak masuk, tolong titip absen. Makasih, yah..”

Katingmu dibalik selimutnya dia tetap tersenyum. Padahal dia sendiri tak pernah sekalipun titip absen. 

Yang lebih menyedihkan lagi dari kating ia kerap maju ke depan kelas dan bicara tentang pengumuman yang dia dapat dari bidang akademik fakultas. Tapi apa yang terjadi teman-teman? Kita anak-anak malas membuat kating kita jadi kerbau. Tidak ada yang mengherani. Awalnya dia akan berkata, tolong perhatiannya teman-teman. Kita lalu diam. Saat kating lanjut bicara kita anak-anak malas mulai tidak mengherani lagi dan asyik ngobrol dengan yang lain. Itu terus terjadi tanpa kita tahu sakit seperti apa yang dirasakan oleh kating yang agung. Mulianya ya, Allah.

Kamu baru sadar sesuatu itu berharga kalau pas kamu bayangkan hidup tanpa dia itu ternyata mengerikan. Bayangkan tanpa kating kamu tidak punya orang untuk yang disalahkan, tanpa kating tidak ada diskon fotocopy, dan tanpa kating tidak ada yang mengambil risiko. Risiko menjadi pahlawan.


Gambar dari kompasiana.com

Binatang Ajaib

Saya terlibat pertama kali dengan obrolan jenis ini waktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Sore itu selepas main sepak bola dengan anak-anak, seperti biasa sebelum pulang kami mampir dulu di warung dekat lapangan buat minum es Sisri. Harga es Sisri saat itu masih 500-an jadi aman buat finansial anak SD.

Setelah semua anak-anak mendapatkan es Sisri dan dahaga mulai reda, salah satu teman mulai buka obrolan yang isinya kayak gini.

“Kemaren tetangga samping rumahku beli pentol sama Paklek yang biasa ada di SD itu, pas dia mulai makan pentolnya dia kaget kok ada yang jalan di mulutnya, eh ternyata ulat!”

“Ih, kok bisa?”

“Ah, masa sih. Bohong kali, perasaan enak aja deh pentolnya.”
  
“Lah, aku sering beli itu pentolnya kalo jam istirahat. Ih, jadi geli, males beli lagi.”

“Tetanggamu kali giginya bolong, ulatnya datang dari giginya.”

Jelas aja obrolan ini menuai komentar. Ada yang bilang itu cuman gosip tapi ada yang beneran jera beli pentol sama Pakleknya. Meski obrolan ini cenderung menjatuhkan jualan Pakleknya tapi tetap aja namanya bocah, kita gampang terpengaruh tapi dua hari berikutnya semua udah lupa. Malahan beli es Sisri 500 dan 500 lagi beli pentol sama Pakleknya. Jadi bocah emang gitu lebih sering wallahu alam-nya.

***

Lama setelah kejadian hari itu, obrolan mengenai makanan beracun dari mulai yang mengandung boraks, formalin, sampai ada belatungnya makin sering terdengar. Makan pun makin mirip acara fear factor. Hingga akhirnya terjadilah hari yang mengenaskan itu. Atau mungkin lebih tepatnya nyaris mengenaskan.

Sore itu perkuliahan terakhir baru saja selesai ketika lapar sejak 4 jam lalu meletus. Rasanya lapar banget seperti ada sangkakala di dalam perut yang dibunyikan. Bikin cacing-cacing berhamburan, sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Untungnya sore itu saya nggak sendirian, ada teman sekelas bernama Wahyu dan Juan yang sepertinya sama-sama lapar. Dari sorot mata keduanya sih terlihat mereka lapar sejak 12 jam lalu.

Kami bertiga akhirnya menuju kantin yang lokasinya sebelahan dengan kelas terakhir. Sampai di kantin ada beberapa mahasiswa yang asyik main laptop. Sekilas mereka ini gamers. Pas diliatin main apa, taunya cuman main catur lawan com pula. Oke bebas, nggak masalah. Tapi di meja kantin itu keliatan jorok karena ada bekas kopi tumpah. Iya sih, main catur lawan com tapi kalo kalah jangan numpah kopi gitu dong.

Gara-gara banyak meja kotor, kami pun pilih meja yang duduknya lesehan. Juan sempat bilang kalau kaki dia sebenarnya bau jadi dia malas kalau makan duduknya lesehan. Takut nanti bau kakinya mengundang kerusuhan mahasiswa yang lagi main catur. Ditambah barusan ada mahasiswa yang saya liat kudanya habis dimakan com. Tapi dibanding nggak jadi makan, akhirnya kami tetap sepakat buat duduk di meja lesehan.

Akhirnya, secarik kertas yang isinya menu makanan mulai ditulis Wahyu. Saya dan Wahyu memesan ayam panggang sementara Juan memesan ayam penyet. Selesai ditulis, Juan mengantarkan kertas pesanan ke ibu-ibu kantin. Cuman ada dua tugas, menulis dan mengantarkan kertas, kami ada tiga orang, saya jadi satu-satunya yang bebas tugas. Ini artinya kalau kamu pintar matematika SD kelas 1 hidupmu bisa jadi lebih santai.

“Jadi banyak lalat kan datang,” kata Juan setelah selesai mengantarkan dan mulai membuka sepatu.

“Ini gara-gara kakiku lembab, bau jadinya.”

“Makanya coba pakai kaos kaki,” jawab saya, sadar makin banyak lalat.

“Bukan, bukan gara-gara itu tapi ini pas boker kemaren di kostan habis boker aku langsung pakai sepatu,” tegas Juan.

Siddikun. Rupanya jujur sekali Juan ini. Anehnya, obrolan bau kaki ini tanpa sadar menyeret kami ke topik “warung makan yang ada binatang ajaib di piringnya”. Nggak tau kenapa asyik juga ngobrolin ini, hitung-hitung mawas diri aja.

Dimulai dari cerita Wahyu saat SMK dia bersama temannya makan di warung dikagetkan kemunculan ulat di piring. Saya nggak mau kalah, mengeluarkan cerita hasil dengar-dengar sana-sini, saya bilang kalau di fastfood A makanan pengunjung yang gak habis pas sampai dapur di masak ulang. Juan ikut cerita, dia pernah lihat belatung dalam makanan. Geli banget, katanya. Dia ngaku lihat langsung dari Youtube.

Karena keasyikan ngobrol jorok-jorok ini, isu marketing atau apalah itu, pesanan kami ternyata udah jadi dan diantarkan ke meja. Kami bertiga mulai menikmati makanan masing-masing. Bahasan soal “binatang ajaib muncul di piring” udah berhenti. Sekarang waktunya memberi kehidupan kedua bagi para cacing. 

Semua menikmati makanan sore itu. Juan jadi orang pertama yang selesai makan. Sepertinya dia kenyang sekali sampai kelihatannya sedang kehilangan kata-kata. Berkali-kali Juan memajukan badannya ke meja dan kembali mundur. Di piringnya masih ada sisa ayam, Wahyu jadi penasaran apa sisa di piring Juan, dia ambil garpu dia colok ke bentuk lonjong dan berwarna kehitaman. Lalu dia angkat. Baik saya dan Wahyu langsung sibuk ngubek nasi dan ayam siapa tahu ada nemu binatang ajaib kayak tawon di piring Juan.


Gambar dari arc300.wordpress.com